KENANGAN HARI JUMAT
“Sebaik-baik hari di mana matahari terbit di saat
itu adalah hari Jum’at. Pada hari ini Adam diciptakan, hari ketika ia
dimasukkan ke dalam surga dan hari ketika ia dikeluarkan dari surga. Dan hari
kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jumat.” (HR. Abu Hurairah)
Hari
Jum’at adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh kaum Muslim. Walaupun semua hari
pada dasarnya adalah baik, namun terdapat beberapa keutamaan di hari Jum’at.
Kala
itu, direntang tahun 1993 hingga 1999, hari Jum’at adalah hari yang ditunggu.
Ini hari liburnya santri-santri DN. Oya, DN adalah singkatan untuk Pondok
Pesantren Darunnajah yang berlokasi di Jalan Ulujami Pesanggrahan Jakarta
Selatan. Walaupun libur, tetapi santri tidak boleh keluar pondok. Hanya
orangtua saja yang datang untuk menjenguk putra atau putrinya. Sekali sebulan
barulah santri diizinkan pulang.
Menjelang
sore biasanya sosok yang kutunggu tiba, yang selalu datang mengunjungiku setiap
Jum’at sore. Membawa makanan dan juga pakaian bersih yang sudah dicuci di
rumah. Kondisi santri pada masa itu tidak sama dengan santri sekarang yang
memiliki fasilitas laundry-nya. Dulu santri harus mencuci sendiri.
Meskipun
tidak mudah untuk mengingat kembali apa yang terjadi lebih dari 20 tahun lalu. Namun,
hari Jum’at tetaplah istimewa. Menurut Teori Peluruhan (decay
theory)[1]
setiap memori yang disimpan di dalam otak akan membentuk jejak-jejak memori (memory traces).
Seiring berjalannya waktu, jejak-jejak memori ini akan memudar dan menghilang,
apabila kita jarang mengulang kembali memori tersebut.
Menuliskan
kenangan ini seperti memutar kembali sebuah film. Mengulang kembali
memori, karena cerita lama di Darunnajah
selalu indah untuk dikenang, walau dalam setiap perjalanan tidak semua kisahnya
menyenangkan.
Dalam sebuah buku berjudul Investasikan Otak Anda: Agar
Otak Tetap Sehat, Cerdas & Produktif di Masa Depan,[2]
Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S menerangkan bahwa memori atau ingatan bisa tersimpan
lebih lama di otak jika terdapat unsur emosional. Ingatan
kita lebih kuat menyimpan kenangan terkait pengalaman dan fakta.
Seperti
kenangan Jum’at-Jum’at pertama yang dilalui di Darunnajah. Sedih tentunya,
anak-anak kecil yang baru menamatkan pendidikan di sekolah dasar harus rela
berpisah puluhan bahkan ratusan kilo jauhnya dari orangtua. Rasa rindu yang
sering kali hadir bersamaan dengan tuntutan untuk mandiri membuat beberapa kali
Jum’at dilalui dengan menangis berjama’ah bersama teman-teman sekamar.
Selanjutnya,
ada Jum’at-Jum’at yang diisi dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan
organisasi. Selain membantu pembentukan karakter santri, menyibukkan diri
dengan berbagai kegiatan juga menjadi salah satu cara yang jitu untuk survive di pondok.
Seperti
siswa sekolah menengah lainnya, tugas utama santri adalah belajar. Karena tidak
melibatkan emosi saat belajar, maka tidak mudah untuk mengingat kembali
materi-materi yang dulu dipelajari, tapi kalau materi ini rasanya para santri
masih ingat yaa .…
Kaana muhammadun naiman fi firosyihi wa saatun 'asyrun. Wa
laylu kulluhu dzolamun wa bardun wa dunya saakinatun.
Ada
juga Jum’at yang dilalui dengan melakukan persiapan untuk menjalani kegiatan Amaliyatut
Tadris, kegiatan praktek mengajar bagi santri kelas akhir. Karena sesuai
dengan kurikulumnya sebagai lembaga pendidikan keguruan, Tarbiyatul
Mu’allimin wal Muallimat Al-Islamiyah (TMI)[4]
Darunnajah memang mempersiapkan santrinya untuk bisa menjadi pengajar.
Di
tingkat Aliyah, santri diberikan tanggung jawab untuk menjadi pengurus
organisasi, Organisasi Santri Darunnajah (OSDN). Selama kurang lebih setahun
kami berlima, aku, Mpok Babay (Nurbaini), Mbak Ley (Shirley Budiarti), Mbak Inen
(Isnaini Zulia Ambarwati), Teh Ifa (Ifa Latifah), dan Dedek Aal (Nuraliyah)
melalui jum’at bersama di satu kamar, kamar bagian Pers dan Jurnalistik.
Dua
kali Jum’at bahkan dilalui di sebuah desa yang jauh dari Darunnajah, Desa
Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan dalam sebuah kegiatan Praktek
Pengabdian Masyarakat (PPM), salah satu program pesantren yang mengharuskan
seluruh santrinya untuk terjun ke masyarakat mengaplikasikan ilmu yang didapat
di Pondok. Bergabung bersama ibu-ibu PKK, ikut serta dalam kegiatan posyandu,
mengisi kultum di Masjid, mengajar adik-adik SD, mengajak masyarakat senam
pagi, senam Sajojo ….
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A dalam pengantar buku
Bilik-Bilik Pesantren[5]
menyatakan bahwa pesantren atau pondok merupakan lembaga yang dapat dikatakan
sebagai wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari sisi
historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, akan tetapi juga
mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga indigenous
pesantren memiliki akar sosio historis yang cukup kuat, sehingga mampu
menduduki posisi yang relatif sentral dalam masyarakat dan bisa bertahan di
tengah berbagai gelombang perubahan.
Enam
tahun yang dilalui di pondok pesantren bukan waktu yang singkat, ada banyak
kenangan yang sulit diurai karna telah lama terlewat. Ada kenangan yang
tersimpan dalam ingatan, ada yang memiliki bentuk visual seperti foto atau
video, ada juga kenangan yang saat ini sedang kami tuliskan bersama hingga bisa
dibaca dan diingat sampai masa beberapa generasi ke depan.
Kenangan
hari Jum’at,
kenangan
menjadi santriwati Darunnajah.
[1] Teori Peluruhan pertama kali
diciptakan oleh Edward Thorndike dalam bukunya The Psychology of Learning pada tahun 1914.
[2] Turana, Yuda. 2016. Investasikan Otak Anda: Agar Otak Tetap Sehat, Cerdas &
Produktif di Masa Depan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[3] KMD atau Kursus Mahir Dasar merupakan suatu
kegiatan pembinaan dengan tujuan untuk memberi bekal pengetahuan dasar dan
pengalaman praktis membina pramuka melalui kegiatan kepramukaan dalam satuan
pramuka yg meliputi perindukan siaga, pasukan penggalang, ambalan penegak, dan
racana pandega.
[4] Tarbiyatul Mu'allimin Al-Islamiyyah
(TMI) adalah salah satu jenjang pendidikan yang terprogram dan tengah
diselenggarakan secara klasikal: Kelas
Reguler, dengan rentang masa belajar 6 tahun, diperuntukan bagi siswa/i lulisan
SD/MI dan Kelas Intensif, dengan rentang masa belajar 4
tahun diperuntukan bagi siswa/i lulusan SMP/MTs atau SMA/MA.
[5] Madjid, Nurcholis. 1992. Bilik-
Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:Paramadina.
Komentar
Posting Komentar