BELAJAR MEMAHAMI ARTI BELAJAR




“Pendidikan Yang Tidak Membentuk Karakter Itu Sama Sekali Tidak Berharga” (Mahatma Ghandi)

We are what we learn...
Mungkin kita pernah mendengar ungkapan itu.
Kita dan society sekitar kita adalah produk hasil pendidikan. Sejatinya, hakikat dari pendidikan adalah achieving “Value” bukan “Skor”. Namun, kesalahan yang sistemik dalam pendidikan telah menciptakan orang-orang dengan nilai akademis tinggi tapi tidak memiliki karakter yang baik. Jikalau kita bertemu seseorang berprilaku kurang terpuji, maka sering terdengar komentar “Dulu sekolah dimana ya?” atau “Dia lulusan mana sih?”, “Siapa yaa gurunya?” dan beberapa ungkapan lainnya…

Betul bahwa guru atau lembaga pendidikan formal (sekolah) memiliki tanggung jawab yang besar dalam pendidikan. Namun, guru dalam arti luas adalah semua yang memberikan pendidikan. Sebuah pribahasa Minang yang menyebutkan “Alam Takambang Jadi Guru”. Artinya alam (lingkungan) pun dapat berperan sebagai guru. Dalam litelatur yang sering kita baca, lingkungan pendidikan meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.



Ketiga lingkungan tersebutlah yang akan membentuk karakter seseorang. Pondasi awal pendidikan dan pondasi awal pembentukan karakter terletak pada keluarga, seperti sering kita dengar ungkapan “Al-ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.”
Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik.

Lingkungan dimana seseorang banyak menghabiskan waktunya untuk belajar serta berinteraksi maka lingkungan itulah yang akan banyak mendominasi pembentukan karakter seseorang. Disinilah dapat kita lihat, terkadang orang tua menyalahkan guru terhadap apa-apa yang terjadi pada anaknya, sebaliknya guru pun menyalahkan orang tua. Padahal anak-anak saat ini lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkungan lain, lingkungan baru yang hadir seiring tuntutan era revolusi industri, lingkungan maya –bersama gadgetnya. Fisik anak bisa saja berada di rumah atau sekolah namun, saat gadget ada digenggamannya maka secara metafisik mereka berada di dunia maya.
Saya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang pendidikan generasi now ini karena sudah banyak tulisan yang membahasnya dan generasi ini masih dalam tahap proses pendidikan (formal) walau sesungguhnya kita meyakini bahwa pendidikan adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Saya ingin lebih melihat kepada society sekeliling saya, generasi X dan Y yang merupakan produk pendidikan masa lalu yang saat ini terjun di masyarakat dan memberi warna dalam berbagai bidang.

Masih sama-sama kita ingat proses pembelajaran di dalam kelas pada masa lalu, dimana guru sangat senang jika muridnya duduk rapi dengan tangan di atas meja mendengarkan guru berceramah. Diakhir pembelajaran guru mengajukan pertanyaan, “Sudah mengerti anak-anak?” Dijawab dengan kompak “Sudah Bu guru…” Lalu pertanyaan lanjutan “Apa ada yang ingin bertanya?” dijawab “Tidak Bu guru…”

Guru bahagia menutup pelajaran dengan anggapan peserta didiknya paham isi ceramahnya. Padahal anak-anak takut untuk bertanya dan mengemukakan pendapat karena bertanya adalah problem yang dilematis. Jika pertanyaan murid melebihi materi yang diberikan, guru akan marah dan mengganggap sang murid sok tahu sedangkan jika sebaliknya guru pun tetap marah dan berkomentar “Kamu sudah Ibu terangkan tapi kok ngak ngerti juga?” Maka untuk menghindari dilema ini anak-anak memilih sikap aman dengan tidak bertanya…

Pendidikan masa ini memegang filosofi bahwa guru adalah yang maha tahu, baik guru di sekolah (pendidik) maupun guru di rumah (orang tua) tidak terbuka celah untuk memberi masukan karna guru selalu benar dan tidak pernah salah. Kritik dianggap hal yang memalukan, padahal sejatinya kritik adalah masukan untuk perbaikan diri. Dan diakhir pembelajaran anak-anak yang manis akan mendapat nilai (skor) tinggi.

Tapi apa yang terjadi 10-15 tahun dari masa itu? Anak-anak yang mendapatkan pembelajaran dengan model ini bahkan sudah lupa dimana meletakan rapot yang berisi nilai-nilai bagusnya, yang tertinggal pada diri mereka adalah nilai (value) yang mereka pelajari seperti; sangat dilarang memberikan kritik, bahwa yang dikatakan baik adalah saat kita “manut – ngikut” apa kata atasan. Di dunia kerja, banyak yang tidak terbiasa berdiskusi, mengemukakan pendapat dan memberi masukan karena “takut”, trauma yang dibawa dari masa lalu. Betapa pendidikan telah memasung kreatifitas dan kebebasan berpendapat…

Ini baru satu contoh, belum lagi fenomena cari muka, cari selamat, adu domba, menjatuhkan teman dan lain sebagainya yang sering ditemui di dunia kerja. Tentunya sedikit banyak proses pembelajaran dan lingkungan pendidikan berkontribusi dalam hal ini… Jika saat ini kita melihat anak-anak intens berinteraksi di dunia maya, maka anak-anak di masa lalu berinteraksi dengan lingkungan (masyarakat) sekitarnya. Sering kali kita mendapati orang membuat klasifikasi berdasarkan suku, misalnya “Pantesan dia begitu, dia orang xxx (suku)”. Padahal membuat generalisasi seperti ini tidaklah bijak, mungkin tepatnya karakter seseorang dibentuk oleh lingkungan sekitarnya…

Maka, berbesar hatilah saat menemukan berbagai tipe orang dalam keseharian. Tidak semua orang yang kita temui menyenangkan. Pahamilah bahwa karakter mereka adalah hasil dari proses belajar yang dibentuk bertahun-tahun oleh lingkungan pendidikannya; keluarga, sekolah dan masyarakat. Maka, sebuah kemustahilan kita merubah karakter seseorang, yang terbaik adalah memahami seperti banyak kata-kata bijak: “Jangan meminta untuk dipahami, tapi belajarlah untuk dapat memahami.”

“BE KIND FOR EVERYONE YOU MEET IS FIGHTING A HARD BATTLE”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemberi Inspirasi (Resensi Buku "Gurunya Manusia")

SCIENCE CLUB EKONOMI MAN 1 PEKANBARU : Belajar bersama, berprestasi, dan bahagia !!!

KARIER PROTEAN GURU