BELAJAR MERDEKA
Konon dahulu kala bangsa asing datang
ke Indonesia saat Eropa mengalami masa Dark
Ages atau Zaman Kegelapan. Bangsa Eropa yang
terkenal dengan kemahirannya dalam pelayaran,
mencari rempah-rempah dan sumber daya alam lainnya ke Indonesia karena
Negara kita merupakan salah satu negara yang terkenal akan kekayaan alamnya
sejak dulu.
Kedatangan
Bangsa Eropa tidak hanya sekedar berdagang, banyak misi yang dibawa. Tujuan
bangsa Eropa untuk datang ke Indonesia sering kita disebut dengan konsep 3G (Gold, Glory and Gospel). Tulisan ini
tidak akan membahas tentang latar belakang kedatangan Barat ke Indonesia,
biarlah ini menjadi tanggung jawab guru sejarah untuk menjelaskannya kepada
generasi penerus bangsa. Namun, sebagai guru ekonomi saya tak ingin
meninggalkan penjelasan bahwa penyebab lain kedatangan Eropa adalah kesulitan
dalam perdagangan yang mereka alami setelah Khalifah Utsmaniyah menguasai Konstantinopel.
Bangsa
Eropa telah terbiasa menikmati rempah-rempah dari pedagang Arab di Wilayah
Eropa Selatan. Dalam kebudayaan Eropa, rempah-rempah
dari Timur yang selama ini dihadirkan oleh para pedagang Arab sudah menjadi
kebutuhan bangsa Eropa sebagai perpaduan jenis obat, pengawet makanan, bumbu
masakan, dan juga simbol status sosial. Rempah-rempah juga menjadi salah satu
indikator status sosial dan gengsi kaum ningrat Eropa.
Situasi ekonomi dan jalur perdagangan
rempah-rempah ke Eropa yang aman dan nyaman selama ini berubah total semenjak
jalur dagang darat ditutup oleh
Kekhalifahan Utsmani, maka kebutuhan rempah-rempah di
Eropa yang tinggi dan persediaan yang makin menipis, akhirnya membuat Portugis
dan Spanyol memutuskan untuk cari jalan lain ke sumber rempah.
Kemajuan
teknologi pada masa itu juga mendorong bangsa Barat untuk melakukan
penjelajahan yang pada akhirnya menemukan bumi Nusantara. Dimana bangsa
Indonesia pada saat itu memiliki sumber daya alam yang melimpah namun minim
sumber daya manusia yang berkualitas. Ini disebabkan belum pahamnya masyarakat
pada masa itu akan pentingnya arti belajar.
Pendidikan
dan pembelajaran pada zaman dahulu merupakan suatu hal yang tidak bisa
dinikmati oleh semua orang. Pendidikan pada masa itu hanya diperuntukan bagi
para bangsawan. Di akhir era tanam paksa, barulah beberapa
sekolah Belanda mulai membuka diri dan menerima pelajar dari berbagai kalangan.
Ketika Belanda kalah dan menyerah
pada Jepang, pengelolaan pendidikan di Indonesia pun diambil alih oleh Jepang.
Jepang membuka sekolah untuk seluruh kalangan masyarakat. Karena saat menduduki
Indonesia situasi Jepang sedang dalam masalah, maka pendidikan pada masa itu
ditujukan untuk mendukung Jepang dalam perang pasifik.
Anak-anak lebih banyak diajarkan
aktivitas fisik ketimbang pelajaran seperti ilmu hitung, ilmu hayat, sejarah,
bahasa dan sastra. Ilmu pengetahuan pun terabaikan karena anak-anak didik lebih
banyak menghabiskan waktu untuk latihan baris-berbaris, taisho (senam), dan kinrohoshi
(kerja bakti).
Sejarah akan memakan waktu yang
panjang untuk dibahas. Sejarah panjang pendidikan akan terus menjadi hal yang
menarik untuk dibicarakan terlebih pada momen perayaan Hari Kemerdekaan.
Sejarah dipahami dan dipelajari agar kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.
Rendahnya kualitas SDM pada masa lalu
sehingga Indonesia harus mengalami dan melewati masa penjajahan mestinya
membuat anak-anak didik dan seluruh pihak terkait paham arti pentingnya
belajar. Penjajahan akan terus ada jika kita tidak dapat mandiri dan tidak bisa
memerdekakan diri dari aturan yang dibuat oleh pihak lain. Betapa hingga 74
tahun Negara ini merdeka anak-anak bangsa masih banyak yang terjajah oleh 3F (food, fashion and fun).
Sulitnya kondisi untuk bisa belajar pada zaman
dahulu mestinya menjadi pelajaran bagi rakyat Indonesia. Mensyukuri kemerdekaan
dan kebebasan yang diperjuangkan oleh para pendahulu dengan belajar. Jika kita
mau melihat ke belakang dan memahami sejarah, maka kemudahan-kemudahan yang ada
saat ini mestinya membuat kita bersemangat untuk selalu belajar.
Kita sudah merdeka!!! Tapi mengapa
masih ada anak-anak yang ‘terpaksa’ untuk sekolah? Mengapa guru-guru harus
‘dipaksa’ dengan berbagai ancaman baru mau belajar dan meningkatkan kompetensi
diri? Kenapa belajar menjadi sebuah proses yang terlihat ‘menyeramkan’?
Anak-anak dan guru menanti bel pulang, semua bahagia saat masa liburan tiba .…
Telah banyak ahli yang berkompeten
membahas serta mendiskusikan tentang sistem pendidikan di negara ini dan
mencoba mencari model yang tepat. Namun, pendidikan adalah proses belajar
mengajar. Jika tidak belajar, maka pendidikan hanyalah omong kosong belaka.
Guru merupakan ujung tombak pendidikan. Guru yang tidak belajar tidak dapat
mengharapkan anak didiknya untuk belajar, karena sejatinya guru harus selalu
memberikan keteladanan serta menjadikan dirinya sebagai pribadi yang selalu digugu dan ditiru.
Mari belajar, kita
sudah merdeka!!!
.
.
Tulisan ini dapat dibaca di buku "Cerita Kemerdekaan"
ISBN : 978-623-7505-85-3
Cetakan pertama, Oktober 2019
14x20 cm, 258 hlm
Komentar
Posting Komentar